Ketua DPD RI Optimis Pengembangan Varietas Unggul Bisa Tutupi Defisit Kedelai

Berita Keren | JEMBER | Permasalahan kedelai dalam sepekan terakhir cukup menyita perhatian Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Menurutnya, kondisi ini bisa diatasi dengan pengembangan kedelai varietas unggul yang dilakukan di Jawa Timur.

“Dalam sepekan terakhir ini, harga kedelai impor mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Kenaikannya berkisar Rp 2.500-Rp 3.000/kg. Dan kedelai impor selalu menjadi pilihan dibanding kedelai lokal yang sering dikeluhkan kurang bersih,” tutur LaNyalla, dalam rangkaian kunjungan ke Jember, Jatim, Jumat (19/2/2021).

Data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Timur mencatat setiap tahun terjadi defisit komoditas kedelai.

“Dari data yang ada, kita bisa ketahui jika pada tahun 2020 kebutuhan kedelai di Jawa Timur mencapai 447.912 ton. Sedangkan produksi lokal hanya mampu menyuplai 57.235 ton. Ada defisit yang harus ditutupi,” katanya.

Mantan Ketua Umum Kadin Jawa Timur ini mengatakan, pemerintah pun sudah mengambil langkah untuk mengatasi permasalahan ini.

“Pemerintah menarget penanaman kedelai hingga 325 ribu hektare sampai pada pertengahan tahun 2021. Pemerintah juga menyiapkan enam varietas kedelai unggul,” jelasnya.

“Kita berharap pemerintah bisa mempercepat proses penanaman varietas kedelai unggul produksi lokal hasil pengembangan dari Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi). Dari varietas ini, kita akan akan mendapatkan kedelai lokal berukuran besar dengan kualitas baik,” katanya

Komoditas varietas kedelai unggul ini juga akan menegaskan posisi Jawa Timur sebagai salah satu wilayah penghasil kedelai terbesar di Indonesia. “Dengan varietas unggul, Jawa Timur akan bisa menghasilkan produksi kedelai yang tinggi dan dapat menutupi defisit kedelai,” ujarnya LaNyalla optimis.

Diungkapkan LaNyalla, Indonesia sebenarnya pernah mencatat masa swasembada kedelai. Tepatnya pada tahun 1992. Saat itu, luas panen kedelai di seluruh Indonesia mencapai 1,889 juta hektar sehingga produksi melimpah. “Tetapi saat itu penduduk Indonesia masih sekitar 170-an juta,” tukasnya.

“Sekarang diperlukan luasan total lahan yang lebih dari itu, jika ingin mencapai swasemda. Tetapi tentu harus disiapkan bibit dan saprodi yang baik, sehingga biaya produksi tidak lebih mahal dari impor,” tandasnya. (AAF)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *