Tiga Gubernur Sulawesi Aspirasikan Tolak Perpanjangan Kontrak Pertambangan INCO

Berita Keren | Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panitia Kerja (Panja) PT Vale Indonesia yang diselenggarakan Komisi VII DPR RI bersama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Rapat Dengan Pendapat Umum dengan Gubernur dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara berjalan cukup panas.

Bacaan Lainnya

Melansir kontan.co.id, Ketiga gubernur ini kompak menyatakan aspirasi tidak memberikan opsi untuk perpanjangan kontrak pertambangan bagi PT Vale Indonesia Tbk (INCO) yang akan berakhir pada Desember 2025.

Andi Sudirman Sulaiman, Gubernur Sulawesi Selatan mengatakan pihaknya membutuhkan kedaulatan ekonomi dan menegaskan tidak ada opsi perpanjangan kontrak pertambangan untuk Vale Indonesia di 2025. Adapun hal ini diakui Andi sudah disepakati juga oleh pergerakan organisasi di Luwu Raya serta tokoh masyarakat di sana.

Aspirasi penolakan perpanjangan kontrak pertambangan Vale Indonesia lantaran kontribusi Vale yang sangat minim untuk Provinsi Sulawesi Selatan, besarnya lahan yang idle, hingga belum diselesaikannya kewajiban terhadap lingkungan hidup.

“Terlihat dari catatan realisasi pendapatan PT Vale terhadap kami persentasenya hanya 1,98% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sulawesi Selatan. Ini sangat menyakitkan bagi kami dengan 54 tahun itu (Vale beroperasi di Sulawesi Selatan),” jelasnya mengutip kontan.co.id dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI, Kamis (8/9).

Andi menyampaikan bahwa kontribusi Vale Indonesia terhadap pendapatan Provinsi Sulawesi Selatan terdiri atas beberapa hal yakni dari pajak kendaraan bermotor, pajak permukaan air, hingga sewa lahan. Kontribusi sewa lahan (land bank) dari PT Vale senilai Rp 1,3 miliar dalam satu tahun.

“Pendapatan Rp 1,3 miliar menguasai 70.000 H kalau dihitung biaya sewa lahan Rp 60.000/per hektar,” ujarnya.

Sedangkan menurut Andi, asumsi perhitungan sewa lahan untuk pertanian misalnya dari BUMN ke petani biayanya sekitar Rp 1,7 juta per hektar, kalau dari sesama petani Rp 5 juta hingga Rp 7 juta per hektar. “Kalau menguasai 70.000 H ini bisa sampai Rp 400 miliar per tahun untuk sewa saja, kalau sewa cuma nanam saja, kalau jual tanah air beda lagi,” ujarnya.

Di sisi lain, Dana Bagi Hasil (DBH) yang disampaikan Rp 200 miliar di 2021, pihaknya baru menerima Rp 41 miliar dari Vale Indonesia. Selain kontribusi pendapatan yang mini, Andi mengungkapkan, terdapat puluhan ribu hektar areal dalam konsesi yang dikuasai Vale Indonesia menjadi idle pemanfaatannya karena dilakukan bertahap.

“Idle-nya besar sekali barang ini karena ada monopoli di wilayah kekuasaan,” terangnya.

Selain itu, Andi merasa tumpuan harapan hanya pada satu investor yang memiliki keterbatasan kemampuan baik dari sisi optimalisasi pengelolaan sumber daya alam baik seperti dari segi smelter dan pengelolaan yang diharapkan yang pada akhirnya terjadi perlambatan penanganan kemiskinan ekstrem dan perlambatan pemulihan ekonomi.

Andi menjelaskan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang laju pertumbuhannya terendah adalah Luwu Timur dan merupakan lokasi dari pertambangan Vale.

Adapun angka penurunan kemiskinan secara rata-rata di Sulawesi Selatan dari semua kabupaten, tidak berpengaruh signifikan khususnya pada wilayah kemiskinan ekstren di Luwu Raya. “Jadi alangkah anehnya di wilayah kami menjadi banyak kemiskinan tapi tinggal di lumbung kekayaan alam,” ujarnya.

Atas desakan seluruh stakeholder bersama masyarakat sekitar, Andi mengakui, menjadikan adanya keharusan kuasa pertambangan wilayah Sulawesi Selatan dipegang penuh oleh pemerintah atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Sulawesi Selatan dengan adanya sejumlah pertimbangan.

Pertama, isu lingkungan menjadi beban tersendiri bagi Pemerintah Daerah yang tidak dapat mengontrol langsung sistem kekayaan alam oleh kuasa pertambangan. Kedua, monopoli konsesi pihak ketiga perlambatan pemanfaatan potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang berimplikasi pada perlambatan pertumbuhan ekonomi masyarakat dan penanganan kemiskinan ekstrim.

Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi menyatakan memang saat ini belum ada realisasi pertambangan nikel di daerahnya layaknya seperti di Sorowako, Sulawesi Selatan. Di sisi lain, proyek smelter nikel High-Pressure Acid Leaching (HPAL) di Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara dinilai Ali sangat muluk sebab sampai hari ini belum ada realisasi.

“Saya sangat sependapat dengan Sulawesi Selatan kenapa kita yang punya di situ kita menjadi penjaga kebon dan penonton. Maka diberikanlah kepada pemerintah di BUMD, jangan lagi melalui lelang, bila ada BUMN diutamakan diserahkan, lah jadi kami di daerah mau jadi apa? Masyarakat kami 3 juta juga butuh hidup,” ujarnya.

Ali mengatakan, potensi ini dipercayakan kepada putra-putra daerah untuk bisa dikelola sendiri.

Setali tiga uang, Gubernur Sulawesi Tengah, Rusdy Mastura juga menyatakan bahwa dirinya sepakat dengan apa yang disampaikan Gubernur Sulawesi Selatan dan Sulawesi tenggara.

Adapun pihaknya juga meminta untuk bisa mendapatkan penciutan lahan 5.000 hektar atau 10.000 hektar. “Bagaimana kalau kami bisa dapatkan penciutan lahan atau saham apapun bentuknya ini bisa membantu pembangunan jalan,” ujarnya.

Plh. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Idris Sihite mengatakan, pihaknya mendengarkan aspirasi dari tiga gubernur ini.

“Silahkan saja aspirasi ditampung keinginannya, tapi kita kan harus jaga keseimbangan juga perusahaan yang sudah ada ketentuan perpanjangan seperti apa,” ujarnya.

Yang terang, pihaknya juga menjaga iklim investasi, hak daerah masyarakat lokal juga diperhatikan keseimbangannya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *