Berita Keren | Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (ED WALHI) Sulawesi Tengah (Sulteng), mengecam putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Parigi Moutong (Parimo), karena memvonis bebas Bripka Hendra yang diduga kuat menembak Erfaldi hingga meninggal dunia, dalam aksi demonstrasi oleh Aliansi Rakyat Tani (ARTI) menolak tambang emas PT Trio Kencana, pada Februari 2022 lalu.
Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye WALHI Sulteng, Aulia Hakim menilai putusan tersebut hanya menambah daftar panjang rendahnya hukuman bagi pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), sekaligus melukai rasa keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat. Putusan tersebut mencerminkan bahwa institusi pengadilan menjadi alat merawat dan melanggengkan impunitas bagi aparat keamanan yang melakukan tindakan semena-mena di luar aturan hukum dengan mengatasnamakan penegakan hukum.
“Negara telah memperlihatkan watak aslinya dalam menegakan keadilan. Tidak ada keberpihakan negara terhadap warga yang mempertahankan hak atas lingkungan hidup, HAM, dan hak untuk berekspresi, dan itu terbukti pada kasus penembakan Erfaldi ini,” ujar Aulia dalam keterangan resminya yang diterima media ini, Minggu (05/3) malam pekan lalu.
Seperti diketahui, almarhum Erfaldi tewas dengan kondisi mengalami luka tembak di bagian punggung kanan, pada 12 Februari 2022. Pemuda asal Desa Tada, Parimo ini dilarikan ke Puskesmas setempat namun tidak tertolong.
Dari hasil uji balistik terhadap senjata api jenis Mek HS-9 serta satu proyektil yang ditemukan pada jaket Erfaldi, tanggal 2 Maret 2022 di Laboratorium Kriminalistik, senjata api dan proyektil tersebut benar merupakan milik Bripka Hendra. Atas dasar hasil uji balistik itu, di waktu yang bersamaan Kapolda Sulteng mengumumkan bahwa Bripka Hendra sebagai tersangka atas tewasnya Erfaldi.
“Kami menyayangkan putusan majelis hakim yang membebaskan Bripka Hendra. Majelis hakim dalam putusannya harusnya out of the box (melihat dari sisi yang keluar dari kebiasaan-kebiasaan). Pasalnya, tindakan Bripka Hendra ini bertentangan dengan aturan pengendalian masa sesuai dengan Peraturan Kapolri (PERKAP) Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 7 Ayat (1) huruf d, yang jelas menyebutkan larangan untuk membawa senjata tajam dan peluru tajam dalam melakukan pengendalian unjuk rasa,” jelasnya.
Hal ini juga tentu sangat bertolak belakang dengan hukum HAM Internasional dan konstitusi Indonesia, mengingat pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan merupakan pelanggaran hak hidup, hak fundamental, seperti yang tertuang dalam hukum HAM Internasional, Pasal 6 Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (ICCPR) telah menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorangpun yang boleh dirampas hak hidupnya.
Hal ini tentu bertentangan dengan pedoman pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, dan UU 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana yang dilakukan Erfaldi dalam mempertahankan hak atas lingkungan hidup yang baik.
Oleh karena itu WALHI Sulteng menilai, dengan adanya putusan tersebut mencerminkan minimnya penghukuman yang berat terhadap para aparat keamanan yang jelas akan berdampak pada proses peradilan terhadap pelaku penembakan, yang notabene adalah aparat penegak hukum. “Majelis hakim PN Parimo telah menambah catatan buruk bagi peradilan Indonesia, yang memberikan ruang keringanan bagi aparat kepolisian dalam melakukan tindak kejahatan,” pungkasnya.(RS/Ril)